Negara Islam yang menerapkan syariah Islam yang rahmatan lil ‘alamin bukanlah ancaman, justru kapitalisme lah ancaman nyata bangsa ini.
Isu Negara Islam kembali ramai
dibicarakan. Beberapa teror bom disebut-sebut dilakukan kelompok yang
mengatasnamakan NII (Negara Islam Indonesia). Meskipun belum bisa
dipastikan kebenarannya , kelompok ini diduga terlibat cuci otak
beberapa mahasiswa yang tiba-tiba menghilang. Termasuk menghalalkan
berbagai cara untuk mendapatkan dana.
Beberapa media pun dengan gencar
mengopinikan bahaya mendirikan negara Islam yang dikatakan menjadi
tujuan kelompok ini. Perjuangan mendirikan negara Islam dianggap
membahayakan Indonesia dan menjadi ideologi kelompok teroris.
Ironisnya , salah seorang petinggi partai
yang dulu mengklaim partai Islam dan sekarang sudah menjadi partai
terbuka (sekuler) , menyatakan ide negara Islam adalah kampungan.
Adalah penting bagi kita untuk memahami , perjuangan mendirikan negara Islam sesungguhnya adalah perjuangan yang mulia. Sebab
negara Islam, dalam pengertian negara yang menerapkan syariah Islam
secara kaffah adalah kewajiban syar’i. Sebab, tanpa ada negara yang
didasarkan kepada Islam, kewajiban menerapkan seluruh syariah Islam,
yang menjadi konsekuensi keimanan seorang muslim, mustahil bisa
dilakukan.
Sebab, banyak hukum syariah Islam yang
membutuhkan institusi politik yang sekarang disebut negara. Hukum
syariah Islam yang berkaitan dengan hudud seperti potong tangan
bagi pencuri, rajam bagi pezina, tentu membutuhkan institusi politik
atau otoritas yang legal atau negara.
Demikian juga menerapkan kebijakan mata
uang yang didasarkan pada dinar dan dirham (berbasis emas dan perak),
pendidikan dan kesehatan gratis, pengaturan pemilikan umum (milkiyah
‘amah) seperti barang tambang yang melimpah (emas, minyak, batu bara)
harus dikelola negara , tidak boleh diberikan kepada swasta asing, dan
hasilnya harus digunakan untuk kepentingan rakyat, tentu membutuhkan
otoritas negara.
Imam Abul Qasim Al-hasan bin Muhammad bin Habib bin Ayyub Asy-syafi’I An-naisaburi, menjelaskan umat telah sepakat bahwa yang menjadi obyek khitab (”maka jilidlah”)
adalah imam. Dengan demikian mereka berhujjah atas wajibnya mengangkat
imam. Sebab, apabila suatu kewajiban itu tidak sempurna tanpa adanya
sesuatu tersebut maka ada sesuatu tersebut menjadi wajib pula”(Tafsir An-naisaburi, juz 5 hal 465)
Kewajiban membangun otoritas politik
seperti inilah yang oleh para ulama disebut imamah atau khilafah, amirul
mukminan yang makna sama. Syeikh Muhammad Abu Zahrah menjelaskan
Khilafah adalah imamah al-kubra (imamah yang agung). Disebut
khilafah karena yang memegang dan yang menjadi penguasa yang agung atas
kaum Muslim menggantikan Nabi SAW dalam mengatur urusan mereka. Disebut
imamah karena khalifah itu disebut Imam. Karena ta’at padanya adalah
wajib. Karena manusia berjalan di belakang imam tersebut layaknya mereka
shalat dibelakang yang menjadi imam shalat mereka” (Tarikh Al-madzahib
Al-islamiyyah, juz I hal 21)
Kewajiban imamah atau khilafah ini
berdasarkan kepada al Qur’an , As Sunnah dan ijma’ush shohabah, dimana
kewajiban ini disepakati oleh para ulama. Imam Mansur bin Yunus bin
Idris Al-bahuti Al-hanafi menjelaskan: “…(mengangkat Imam yang agung
itu) atas kaum Muslimin (adalah fardhu kifayah). Karena manusia
membutuhkan hal tersebut untuk menjaga kemurnian (agama), menjaga
konsistensi (agama), penegakan had, penunaian hak serta amar ma’ruf dan
nahi munkar”. (Kasyful Qina’ an Matnil Iqna’, juz 21 hal. 61)
Syariah Islam yang diterapkan dalam
Daulah Islam (negara Islam) yang disebut Khilafah , bukanlah merupakan
ancaman bagi masyarakat. Bagaimana mungkin syariah Islam yang berasal
dari Allah SWT yang memiliki sifat ar rahman dan ar rahim
disebut sebagai ancaman? Syariah Islam yang bersumber dari Al Qur’an
dan As Sunnah justru merupakan rahmatan lil ‘alamin, memberikan kebaikan
kepada manusia baik muslim ataupun non muslim .
Bagaimana mungkin syariah Islam yang
mengatur bahwa pendidikan dan kesehatan harus gratis bagi seluruh
rakyat, negara wajib menjamin kebutuhan pokok tiap individu rakyat
(sandang, pangan, dan papan), hukuman yang tegas (hukuman mati) bagi
pembunuh, larangan bughot (memisahkan diri) dari negara, barang tambang
harus dikelola negara dengan baik dan hasilnya untuk kepentingan rakyat
disebut mengancam masyarakat ?
Sesungguhnya sistem kapitalisme yang
dipraktikkan oleh elit sekuler Indonesia sekarang inilah yang menjadi
ancaman negara, musuh negara, karena membahayakan rakyat dan negara.
Puluhan juta rakyat miskin, tingginya angka pengangguran, meluasnya
kemaksiatan, perampokan atas nama privatisasi BUMN , investasi, dan
pasar bebas, termasuk maraknya korupsi dan manipulasi merupakan dampak
nyata dari penerapan sistem kapitalisme di negara kita.
Namun mendirikan negara Islam tentu bukan
dengan cara-cara yang bertentangan dengan syariah Islam seperti teror
bom, mengkafirkan orang tua atau pihak lain , menganggap militer dan
kepolisian sebagai ancaman atau kafir, cuci otak, penipuan atau
perampokan. Semua itu jelas-jelas bertentangan dengan syariah Islam.
Cara seperti itu justru kontroproduktif
dan dapat dimanfaatkan untuk memberikan stigma negatif terhadap Islam ,
negara Islam atau syariah Islam. Kalau cara-cara seperti itu dibiarkan
atau dipelihara, kita tentu wajar curiga kalau semua itu memang sengaja
dan direkayasa, untuk menyudutkan Islam. Tujuannya, agar umat jauh dari
Syariah Islam, sehingga penjajah kapitalisme tetap kokoh di negeri ini.