Udara panas menyengat. Angin gurun disertai badai samun. Terasa
sangat mendera. Debu-debu berterbangan. Membuat dinding-dinding tembok
menjad kusam. Terkena debu. Jalan lengang di siang hari. Hanya satu dua
orang yang pergi. Karena sangat perlu. Tak tahan menghadapi udara gurun
yang panas. Menyengat. Kala itu, putra Khalifah al-Makmun, yang bernama
Pangeran Ali sedang berada di tangsi militer. Tiba-tiba seorang pelayan
datang. “Tuanku Amirul Mukminin memanggil. Ia memanggil untuk jamuan
makan, dan sekarang menunggu tuan”, ujar pelayan itu. Mendengar
panggilan itu, Pangeran Ali, lalu berkata: “Sungguh. Cuaca sangat panas
dan terasa gerah, membuat diriku malas keluar. Maka, kembalilah dan
beritahukan kepada Amirul Mukminin, bahwa kamu mendapatkanku sedang
tidur”, ucap Pangeran Ali. Tapi, pelayan itu kembali lagi, dan
mengatakan : “Amirul Mukminin memerintahkan untuk membangunkan. Beliau
sudah tidak sabar lagi walau sekejap saja”, tambah pelayah itu.
Mendengar perintaha itu, Pangeran Ali segera bangun, dan
menghadiri jamuan makan dengan perasaan tidak senang. Disaat itu, Amiru
Mukminin duduk-duduk, sambil minum-minum bersama teman-temannya. Melihat
suasana seperti itu, Pangeran Ali meninggalkan jamuan, tanpa minum
sedikitpun.Ia kembali ke istananya, dan memerintahkan agar digelarnya
permadani di balkonnya yang berada di pinggiran sungai Tigris, lalu
disiram dengan es. Kemudian Pangeran Ali duduk diatas pembaringan
beratap kain sambil memandang orang-orang, dan sungai yang terus
mengalir.
Dari kejauhan Pangeran Ali melihat seorang kuli datang.
Kuli itu menggunakan baju dari bulu putih yang sudah kumal. Ia
membungkus kedua kakinya dengan kain perca untu menahan sengatan panas
yang membakar. Dilihatnya, kuli itu mengeluarkan bungkusan, yang berisi
makanan, yang tidak seberapa, hanya sekedar menahan laparnya. Roti yang
ditaburi garam, dan diberi sejenis bahan tumbuhan yang berbau harum.
Lalu, dari kejauhan Pangeran Ali melihat kuli sedang makan makanannya
yang ada. Dan, ketika usai makan, kuli membungkus kembli barang makanan
yang ia bawa. Lalu, kuli menggelar kain, dan melaksanakan shalat Dhuhur.
Pangeran
Ali berkata kepada pengawal yang berdiri didekatnya. “Bawalah dia
kemari, dan perlakukanlah dengan lembut”, ucapnya. Pengawal itu berkata,
‘Bangun, dan ikut saya’, tegasnya kepada kuli. Tapi, kuli menolak,
karena ia sudah merasa letih. “Carilah orang lain, badanku sudah sangat
letih”, ujarnya. “Tempatnya dekat”, sahut pengawal. Tetapi, kuli tetap
menolak, dan tidak mau ikut pengawal, yang ingin membawanya kepada
Pangeran Ali. Dan, pengawal Pangeran Ali terus menekannya, dan akhirnya
kuli itu ikut ke istana Pangeran Ali.
Ketika bertemu dua manusia
yang berlainan status itu, tapi tak menghalangi keduanya menjadi dekat.
Pangeran Ali, kemudian menggandeng tangan kuli itu, dan membawanya masuk
ke dalam kamarnya, tanpa disertai orang lain. Lalu, Pangeran Ali bekata
: “Lihat ini, kamu telah mengetahui keadaan, dan kedudukanku. Namun,
apa artinya kerajaan ini dengan segala kenikmatan dunia itu bagiku.
Maka, berdoalah kepada Allah Subhana wa Ta’ala agar aku bisa hidup
bersahaja di dunia serta senang di akhirat”, pinta Pangeran Ali.
Kuli
itupun berkata : “Wahai saudaraku tercinta, saya tidak punya kedudukan
disisi Allah untuk bisa aku panjatkan doa, hanya saja sebahagian orang
bijak berkata, ‘Barangsiapa takut terhadap sesuatu, maka ia akan bangun
sepanjang malam. Karenanya, wajibkanlah terhadap dirimu setiap hari
walaupun hanya sejenak untuk melakukan yang jelas bagi-Nya.Jika kamu
mendahulukan yang demikian itu, maka dengan pertolongan Allah akan
timbul suatu tekad yang kuat, dan akan selalu melakukannya. Kamu harus
bertaqwa kepada Allah, mentaati dan menjauhi larangan-Nya”, ucap kuli
itu.
Kemudia kuli itu mengangkat tangannya, dan sambil
menengadahkan wajahnya, ‘Wahai Zat yang mengangkat langit dengan
kekuatan-Nya, yang membentangkan bumi dengan kehendak-Nya, yang
menciptakan makhluk dengan kemauan-Nya, yang bersemayam di Arsy dengan
kekuasaan-Nya. Wahai raja di raja, yang Maha Perkasa, Tuhan bagi alam
semesta, dan penguasa hari kiamat, aku memohon kepada-Mu dengan limpahan
rahmat-Mu, kedermawanan-Mu dan kekuasaan-Mu,agar sudilah Engkau
mengeluarkan rasa cinta duniawi dari hati hambamu, Abdullah Ali, berilah
dia taufiq untuk dapat berbakti kepada-Mu dengan melakukan amal-amal
yang Engkau tetapkan dapat memperoleh keridhaan-Mu, jauhkanlah dia dari
maksiat-Mu, akhirilah kami dan dia dengan kerelaan-Mu, dan maaf-Mu,
wahai Zat yang Maha Pengasih”, tambah kuli itu.
Mendengar untaian
kata-kata kuli itu, Pangeran Ali berlinang air matanya, dan menangis
sejadi-jadinya, lalu berkata kepada kuli itu. “Seandainya kamu menerima
sesuatu pemberian sesuatu dariku”. Lalu, dijawab oleh kuli itu, ‘Saya
tidak menginginkannya, yang saya inginkan hanyalah agar anda melapaskan
saya’. Dan, kuli itu dibiarkan pergi, meninggalkan istana.
Kuli
itu bekerja dari pagi hingga, sore hari, menafkahi ibunya yang sudah
lumpuh, dan selalu menyertainya, di waktu malam hari, dan menggendongnya
ketika ingin keluar melihat matahari. Kuli hidup sangat bersahaja
dipedalaman Iraq. Dan, setiap hari berjalan kaki, mencari pekerjaan
untuk menghidupi ibunya yang sudah lumpuh.
Pangeran Ali
membandingkan makanan yang dimakan kuli, yang hanya roti kering, yang
ditaburi dengan garam serta bumbu wewangian, dan tulang-tulang yang
dagingnya sedikit, dan sudah kering, itulah yang dimakan kuli itu.
Sedangkan yang dimakan Amirul Mukminin, Al-Makmun, hidangan yang
bermacam-macam, hidangan roti yang sangat putih, bersih dan halus, yang
disaring kain, dan yang tersisa hanya tinggal sarinya. Dan, roti itu
dibakar dan diasapi dengan kayu qomary, yang baunya sangat harum,
disertai beraneka daging, yang sangat lezat, tak ada bandingannya.
Di
kemudian hari, suatu pagi, Pangeran Ali pergi meninggalkan istana, naik
perahu pergi ke Basrah, dan pengawalnya disuruh pulang. Sejak itu,
Pangeran Ali hidup layaknya gelandangan. Ia mengenakan pakaian yang
kasar guna menutupi kulitnya yang bersih, lalu membeli talam yang
bentuknya seperti kuli itu, dan meletakkan diatas pundaknya. Dia bekerja
sesuai dengan kemampuannya, dan membawa tulang belulang, yang
dimakannya setiap hari, dan roti kering, yang sudah lama.
Pangeran
Ali disiang hari ia berpuasa, sambil berpuasa, dan tidak pernah
meninggalkan shalat saatnya tiba. Putra Khalifah al-Makmun, yang paling
disayangi itu, hidup dan tidur dari masjid ke masjid, berjalan tanpa
alas kaki, meskipun terik matahari, yang membakar, dan kakinya
pecah-pecah. Hal ini berlangsung bertahun-tahun, sampai ia jatuh sakit.
Disaat ia merasa ajalnya akan tiba, maka ia tinggal disebuah penginapan.
Sebelum meninggal, ia memanggil pemilik penginapan itu.
‘Berikan
cincin ini kepada gubernurmu, kalau ia sedang lewat’. Tak lama,
Pangeran Ali meninggal, saat itulah gubernur Basrah lewat, dan diberikan
cincin dari Pangeran Ali itu. Dan, Gubernur Basrah itu, mengetahui
bahwa cincin itu, milik Pangeran Ali.
Disertai iringan para
pengawal jasad Pangeran Ali dibawa ke Istana, kemudian dimandikan, serta
dikafankan kembali. Ketika dimakamkan Khalifah al-Makmun, berkata
dengan lirih : “Wahai anakku, semoga Allah mengasihimu dan mengabulkan
harapan dan cita-citamu. Sesungguhnya aku sangat berharap, semoga Allah
memberikan kebahagiaan kepadamu”, ucap Khalifah al-Makmun. Lalu,
Khalifah al-Makmun memerintahkan menutup kuburnya dengan tanah.
Sesudah
peristiwa itu, Amirul Mukminin setiap mengingatnya pasti menangis, dia
senantiasa gelisah, dan tidak tertarik lagi dengn kelezatan dan nafsu
dunia. Para ulama fiqh bergantian datang ke majelisnya untuk memberikan
fatwa sekaligusnya menasehatinya. Sampai al-Makmun meniggal.
Sebelum
meninggal Khalifah al-Makmun bersedekah sebanyak seribu dirham,
memerintahkan untuk melepas para narapidana, menulis surat kepada semua
gubernur dan pejabatnya, agar berbuat adil kepada rakyat, dan
menghentikan kezaliman. Wallahu ‘alam.