Kekuasaan Portugis dan Aceh di Rantau Pesisir Barat
Pada kurun waktu berikutnya seperti
ditulis Rusli Amran, (Padang Riwayatmu Dulu), masyarakat Bayang dan
sekitarnya diserang Portugis. Bangsa Portugis mendarat di pantai Salido
(waktu itu merupakan sebuah desa pantai bagian dari negeri Bayang) pada
tahun 1516, sekitar lima tahun setelah Malaka diduduki Portugis pada
bulan Agustus 1511 (sementara Padang dimasuki Portugis pada th 1561).
Mula-mula orang Rupik Portugis yang
mengganas di Pesisir menjalin hubungan akrab / mengadakan kontrak
politik dengan seorang yang mengaku “ahli waris” kerajaan Minangkabau.
Dengan bantuan Portugis yang berkedudukan di Malaka “ahli waris” itu
berhasil merebut Pagaruyung dan mengangkat dirinya sebagai Raja
Minangkabau. Pada saat itulah datang pemimpin Portugis yang merebut
Malaka ke Pagaruyung, dengan dikawal banyak pasukan yang tidak lain
adalah perompak-perompak bayaran Portugis sendiri.
Pimpinan antek-antek Portugis itu adalah
Dewang Palokamo Pamowano dari sehiliran Batang Hari yang merebut takhta
dari Dewang Sari Deowano, Raja Alam Minangkabau. Untuk menguasai
Minangkabau Portugis mengerahkan para perompak bajak laut yang
digajinya, dan budak-budak yang ditawannya dari berbagai bangsa, baik
dari bangsa Eropid, Affrika, Keling India, sampai kepada bangsa sendiri
yang digajinya. Sementara tentara Portugis itu sendiri tidak seberapa
jumlahnya.
Inilah yang kemudian dicatat dalam kias
Tambo Alam Sungai Pagu sebagai Sitatok Sita rahan, Si Anja, si Paihan
yang hidup dalam gua-gua. Mereka adalah orang bayaran Rupik yang naik
dari hilir Batang Hari dengan target sebagian menuju pusat Minangkabau,
menguasai Paga ruyung dan sebagian lagi merampas wilayah pantai Pesisir
Barat Sumatera Barat.
Karena banyaknya yang menyerang secara
mendadak maka dengan mudah Pagaruyung dapat dikuasai. Namun raja itu
tidak lama berkuasa, lebih kurang selama 10 tahun kemudian tumbang, dan
raja yang dahulu kembali menaiki takhta. Raja yang kembali bertakhta ini
ayah kandung Dewang Sari Megowano. Baginda menolak kerjasama dengan
orang Rupik. Oleh karenanya orang Rupik semakin mengganas di Pesisir.
Kisah Putri Aceh dan Rumah Gadang Yang Hilang
Adalah Baginda Dewang Sari Deowano yang
mempunyai permaisuri Tuan Puti Rani Dewi (ibu kandung Dewang Sari
Megowano) mengambil putri dari Aceh sebagai istrinya yang kedua. Baginda
ini dalam pesta pernikahan di Aceh, banyak memberi hadiah kepada
pembesar dan masyarakat di Aceh. Karena harta benda yang dibawa sudah
habis, dipinjamlah mas kawin yang sudah diserahkan kepada sang istri
yakni Putri Kemala (Tuan Puti Gumalo). Karena emas kawin itu sudah
diserahkan kepada Baitul Mal Kesultanan Aceh, maka kepada Baitul Mal
itulah dilakukan peminjaman. Raja berjanji akan membayar begitu sampai
di Pagaruyung. Tetapi apa, dan bagaimana pelaksanaannya ?
Baginda mungkin karena lupa, tak kunjung
membayarnya. Ketika Putri Kumalo (Guma lo) menyerahkan surat tagihannya
dari Baitul Mal, raja merasa tersinggung. Terjadi perteng karan, yang
mengakibatkan diceraikannya Putri Keumala oleh Baginda. Sang Putri
meninggal kan istana dan pergi ke Luak Agam. Di Koto Gadang (Luak Agam)
Sang Putri tinggal dengan be berapa orang pengiringnya dan mengajar
wanita-wanita disini menyulam menerawang. Sultan Aceh amat marah. Lantas
utusan di kirim menjeput Putri Keumala. Setelah putri itu sampai di ibu
kota Kerajaan Aceh, pasukan Aceh pun bergerak dan menguasai Bandar Muar
dan Pariaman. Di Bandar Muar ditempatkan seorang “Teuku” sebagai
Khalifah Sulthan, atau pengganti atau wakil Sultan. Sejak waktu itu
Bandar Muar dikenal dengan nama Bandar Kha lifah. Namun lebih populer
dengan nama “Kampuang Teuku” dan bagi penduduk disebut “kam puang Tiku”.
Itulah asal-usul nama “Tiku”.
Dari sini dikerahkan pasukan untuk
merebut ibu kota Pagaruyung. Namun cepat dicegah oleh Pamuncak Alam
Kerajaan Minangkabau Dewang Ranggowano (anak dari Raja Dewang Ramowano
dengan Puti Reno Salendang Cayo). Dewang Ranggowano juga menjadi Raja
Sungai Tarab dengan gelar Datuak Bandaharo Putieh yang sekaligus juga
menjadi Pucuek Bulek Urek Tunggang Kelarasan Koto Piliang.