Pidie jaya
Nama Resmi : Kabupaten Pidie Jaya
Ibukota : Meureudu
Luas Wilayah : 1.073,6 km²
Jumlah Penduduk :
Wilayah Administrasi : Kecamatan : 8
Bupati : Drs. H. M. Gade Salam
Wakil Bupati : Yusuf Ibrahim
Alamat Kantor :
Website : www.pidiejayakab.go.id
Sejarah :
Kabupaten
Pidie Jaya adalah salah satu kabupaten baru di Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam, Ibukotanya Meureudu. Kabupaten ini terbentuk berdasarkan
Undang-Undang Nomor 07 Tahun 2007 tentang Pembentukan Kabupaten Pidie
Jaya di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2007 Nomor 9, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4683 ), pada tanggal 2 Januari 2007.
Negeri
Meureudu pernah dicalonkan sebagai Ibu Kota Kerajaan Aceh. Namun
konspirasi politik kerajaan menggagalkannya. Sampai Kerajaan Aceh
runtuh, Meureudu masih sebuah negeri bebas. Negeri Meureudu sudah
terbentuk dan diakui sejak zaman Kerajaan Aceh. Ketika Sultan Iskandar
Muda berkuasa (1607-1636) Meureudu semakin diistimewakan. Menjadi daerah
bebas dari aturan kerajaan. Hanya satu kewajiban Meureudu saat itu,
menyediakan persediaan logistik (beras) untuk kebutuhan Kerajaan Aceh.
Dalam
perjalanan tugas Iskandar Muda ke daerah Semenanjung Melayu (Malaysia
-red) tahun 1613, singgah di Negeri Meureudu, menjumpai Tgk Muhammad
Jalaluddin, yang terkenal dengan sebutan Tgk Ja Madainah. Dalam
percaturan politik Kerajaan Aceh Negeri Meureudu juga memegang peranan
penting. Hal itu sebegaimana tersebut dalam Qanun Al-Asyi atau Adat
Meukuta Alam, yang merupakan Undang-Undang (UU) nya Kerajaan Aceh. Saat
Aceh dikuasai Belanda, dan Mesjid Indra Puri direbut, dokumen
undang-undang kerajaan itu jatuh ke tangan Belanda. Oleh K F Van Hangen,
dokumen itu kemudian diterbitkan dalam salah satu majalah yang terbit
di Negeri Belanda.
Dalam
Pasal 12 Qanun Al-Asyi disebutkan, "Apabila Uleebalang dalam negeri
tidak menuruti hukum, maka Sultan memanggil Teungku Chik Muda Pahlawan
Negeri Meureudu, menyuruh pukul Uleebalang negeri itu atau diserang dan
Uleebalang diberhentikan atau diusir, segala pohon tanamannya dan harta
serta rumahnya dirampas." Kutipan Undang-Undang Kerajaan Aceh itu,
mensahihkan tentang keberadaan Negeri Meureudu sebagai daerah
kepercayaan sultan untuk melaksanakan segala perintah dan titahnya dalam
segala aspek kehidupan politik, ekonomi, sosial, budaya, dan pertahanan
keamanan Kerjaan Aceh Darussalam.
Malah
karena kemampuan tersebut, Meureudu pernah dicalonkan sebagai Ibu Kota
Kerajaan. Caranya, dengan menimbang air Krueng Meureudu dengan air
Krueng Aceh. Hasilnya Air Krueng Meureudu lebih bagus. Namun konspirasi
elit politik di Kerajaan Aceh mengganti air tersebut. Hasilnya Ibu Kota
Kerajaan Aceh tetap berada di daerah Banda Aceh sekarang (seputar aliran
Krueng Aceh). Untuk mempersiapkan pemindahan ibu kota kerajaan
tersebut, sebuah benteng pernah didirikan Sultan Iskandar Muda di
Meureudu. Benteng itu sekarang ada di tepi sungai Krueng Meureudu.
Peranan
Negeri Meureudu yang sangat strategis dalam percaturan politik
Pemerintahan Kerajaan Aceh. Ketika Sultan Iskandar Muda hendak melakukan
penyerangan (ekspansi) ke semenanjung Melayu (Malaysia-red). Ia
mengangkat Malem Dagang dari Negeri Meureudu sebagai Panglima Perang,
serta Teungku Ja Pakeh - juga putra Meureudu - sebagai penasehat perang,
mendampingi Panglima Malem Dagang.
Setelah
Semenanjung Melayu, yakni Johor berhasil ditaklukkan oleh Pasukan
pimpinan Malem Dagang, Sultan Iskandar Muda semakin memberikan perhatian
khusus terhadap Negeri Meureudu. Kala itu Sultan paling tersohor dari
Kerajaan Aceh itu mengangkat Teungku Chik di Negeri Meureudu, putra
bungsu dari Meurah Ali Taher yang bernama Meurah Ali Husein, sebagai
perpanjangan tangan Sultan di Meureudu.
Negeri
Meureudu negeri yang langsung berada dibawah Kesultanan Aceh dengan
status Nenggroe Bibeueh (negeri bebas-red). Dimana penduduk Negeri
Meureudu dibebaskan dari segala beban dan kewajiban terhadap kerajaan.
Negeri Meureudu hanya punya satu kewajiban istimewa terhadap Kerajaan
Aceh, yakni menyediakan bahan makanan pokok (beras-red), karena Negeri
Meureudu merupakan lumbung beras utama kerajaan.
Keistimewaan
Negeri Meureudu terus berlangsung sampai Sultan Iskandar Muda diganti
oleh Sultan Iskandar Tsani. Pada tahun 1640, Iskandar Tsani mengangkat
Teuku Chik Meureudu sebagai penguasa defenitif yang ditunjuk oleh
kerajaan. Ia merupakan putra sulung dari Meurah Ali Husein, yang bermana
Meurah Johan Mahmud, yang digelar Teuku Pahlawan Raja Negeri Meureudu.
Pada
zaman penjajahan Belanda, Negeri Meureudu dirubah satus menjadi
Kewedanan (Orderafdeeling) yang diperintah oleh seorang Controlleur.
Selama zaman penjajahan Belanda, Kewedanan Meureudu telah diperintah
oleh empat belas orang Controlleur, yang wilayah kekuasaannya meliputi
dari Ulee Glee sampai ke Panteraja.
Setelah
tentara pendudukan Jepang masuk ke daerah Aceh dan mengalahkan tentara
Belanda, maka Jepang kemudian mengambil alih kekuasaan yang
ditinggalakan Belanda itu dan menjadi penguasa baru di Aceh. Pada masa
penjajahan Jepang, masyarakat Meureudu dipimpin oleh seorang Suntyo
Meureudu Sun dan Seorang Guntyo Meureudu Gun.
Sesudah
melewati zaman penjajahan, sejak tahun 1967, Meureudu berubah menjadi
Pusat Kewedanan sekaligus Pusat Kecamatan. Selama Meureudu berstatus
sebagai Kewedanan, telah diperintah oleh tujuh orang Wedana. Pada tahun
1967, Kewedanan Meureudu dipecah menjadi empat kecamatan yaitu Ulee
Glee, Ulim, Meureudu dan Trienggadeng Penteraja, yang masing-masing
langsung berada dibawah kontrol Pemerintah Daerah Kabupaten Pidie.
Daerah
kewedanan Meureudu kemudian dijadikan sebagai Kabupaten Baru (Pidie
Jaya) yang membawahi delapan Kecamatan, yakni Kecamatan Bandar Dua,
Kecamatan Jangka Buya (pecahan Bandar Dua), Kecamatan Ulim, Kecamatan
Meureudu, kecamatan Meurah Dua (Pecahan Meureudu), Kecamatan
Trienggadeng, Kecamatan Panteraja (Pecahan Trienggadeng) dan Kecamatan
Bandar Baru. Delapan kecamatan di bagian timur Kabupaten Pidie ini
ditetapkan sebagai Kabupaten Pidie Jaya, dengan Meureudu sebagai Ibu
Kotanya.
Pada
tanggal 15 Agustus 2005, penandatanganan Nota Kesepakatan Damai (MOU)
yang dilaksanakan di Helsinki - Swedia merupakan tahapan penting bagi
Aceh dalam memasuki kehidupan damai yang didambakan masyarakat. Konflik
yang berkepanjangan menyebabkan jatuhnya korban yang besar dimana hal
ini menghambat stabilitas politik dan keamanan yang menjadi modal dasar
pembangunan di Aceh dan khususnya Kabupaten Pidie Jaya.