Nama Resmi : Kabupaten Bireuen
Ibukota : Singkil
Luas Wilayah : 1.902,21 Km²
Jumlah Penduduk : 349.085 Jiwa (Sensus Penduduk 2000)
Wilayah Administrasi : Kecamatan : 10
Bupati : Drs. Nurdin Abdul Rahman
Wakil Bupati : Drs. Busmadar Ismail
Alamat Kantor : Jl. Laksamana Malahayati. No. 1
Telp. (0644) 324312. Fax (0644) 324313
Website : www.bireuenkab.go.id
SEJARAH
AWAL
Maret 2003. Komite Keamanan Bersama atau Joint Security Committee (JSC)
Aceh "meresmikan" Kecamatan Peusangan di Kabupaten Bireuen sebagai zona
damai di Aceh. Daerah ini bersama Kecamatan Tiro di Kabupaten Pidie dan
Kecamatan Indrapuri, di Kabupaten Aceh Besar menjadi zona damai
menyusul pemberlakuan demiliterisasi Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan
relokasi prajurit Tentara Nasional Indonesia (TNI). Tujuannya jelas:
mewujudkan damai di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD).
NAMUN,
kenyataan berbicara lain. Tiga bulan setelah kesepakatan damai diteken,
pemerintah negeri ini memberlakukan darurat militer di NAD. Tak lama
kemudian, kendaraan umum di Bireuen perlahan tersisih oleh kemunculan
kendaraan tentara yang berpatroli rutin. Suara deru mesin panser dan
letusan bedil yang mewarnai kontak senjata antara pasukan TNI dengan GAM
mulai merasuki gendang telinga warga Bireuen.
Dalam
peta GAM, Bireuen termasuk wilayah Batee Iliek dalam kekuasaan Panglima
Perang Dawis Djeunieb. Tidak heran bila aparat keamanan pemerintah
pusat kerap menyambangi daerah ini. Empat dari 10 kecamatan yang ada,
yakni kecamatan Juli, Jangka, Peudada, dan Makmur malah mendapat
predikat "daerah hitam". Dibanding kecamatan lain, berbagai tindak
kekerasaan-pengrusakan dan pembakaran bangunan permanen, penculikan
hingga pembunuhan- kerap terjadi di keempat kecamatan itu.
Salah
satu bangunan permanen yang menjadi sasaran pembakaran adalah bangunan
sekolah. Selama darurat militer diberlakukan, 139 gedung sekolah di
Bireuen terbakar. Dari catatan yang ada, Bireuen memiliki 280 gedung
sekolah dasar sampai sekolah lanjutan tingkat atas. Dalam APBD 2002
pemerintah kabupaten menganggarkan Rp 27,17 miliar guna menunjang
kegiatan pendidikan. Alokasi itu sekitar 40 persen dari seluruh belanja
pembangunan Rp 68,77 miliar.
Kabupaten
Bireuen yang lahir pada 12 Oktober tahun 1999 merupakan pemekaran
Kabupaten Aceh Utara. Bireuen terletak pada 40.54’ – 50.18’ Lintang
Utara dan 960.20’-970.21’ Bujur Timur. Kabupaten ini berada pada jalur
Banda Aceh dan Medan serta berbatasan dengan Takengon, Aceh Tengah.
Sebagian besar permukaan jalan yang menghubungkan Bireuen dengan
daerah-daerah tetangganya beraspal hotmix. Waktu tempuh dari Banda Aceh
ke Bireuen lima jam perjalanan darat. Sedangkan dari Medan sekitar 10-11
jam. Dari seluruh luas lahan di kabupaten ini, 54,2 persen untuk usaha
pertanian.
Lapangan
usaha pertanian menjadi mata pencaharian utama penduduk Bireuen. Dari
seluruh penduduk, 33,05 persen bekerja di sektor agraris. Sisanya
tersebar di berbagai lapangan usaha seperti jasa (21,62 persen),
perdagangan (10,20 persen), industri (5,50 persen). Nilai kegiatan
ekonomi masyarakat di lapangan usaha pertanian Rp 1,07 triliun. Dalam
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) tahun 2001, nilai yang dihasilkan
sekitar 65 persen dari seluruh PDRB yang berjumlah Rp 1,65 triliun.
Dari
lima kegiatan pada lapangan usaha pertanian, tanaman pangan memberi
kontribusi terbesar dengan nilai Rp 445 miliar. Produk andalan bidang
ini adalah padi dan kedelai. Padi di tanam di seluruh kecamatan dengan
luas tanaman 26.047 hektar. Bireuen menghasilkan 136.578 ton padi dari
areal panen 29.814 hektar. Sentra produksi padi terdapat di Kecamatan
Samalangan, Peusangan, dan Gandapura. Untuk pengairan sawah, kabupaten
ini memanfaatkan tujuh sungai yang semua bermuara ke Selat Malaka. Salah
satunya, irigasi Pandelhong yang memanfaatkan air Krueng–sebutan untuk
sungai–Peusangan.
Seperti
padi, tanaman kedelai dijumpai di seluruh kecamatan. Dari areal panen
27.033 hektar, diperoleh 41.793 ton kacang kedelai. Angka ini merupakan
produksi terbesar di seluruh Provinsi NAD. Kecamatan Juli menjadi sentra
kedelai dengan produksi 17.202 ton. Sedangkan sembilan kecamatan lain
menghasilkan 300 ton hingga 7.000 ton. Selain untuk konsumsi lokal,
kacang kedelai (Glycine max) dipasarkan dalam bentuk butiran hingga ke
Medan, Sumatera Utara. Di kota ini, biji kedelai yang mengandung 48
persen protein, 24 persen karbohidrat, dan 19 persen lemak digunakan
untuk bahan baku tempe, tahu, dan susu. Ampasnya untuk pakan ternak. Di
Bireuen, kedelai menjadi bahan baku kecap, tahu, dan tempe.
Kabupaten
ini juga menjadi daerah penghasil pisang. Dari 151.933 batang pisang,
dihasilkan 3.792 ton buah pisang. Pisang ini diolah menjadi keripik.
Industri keripik pisang terbanyak di Kecamatan Jeumpa dengan 80 sentra
produksi. Di kecamatan Peusangan dan Juli masing-masing terdapat 40 dan
10 sentra produksi. Masing-masing sentra rata-rata memiliki empat tenaga
kerja, sehingga pembuatan keripik pisang setidaknya menyerap 500 tenaga
kerja. Keripik pisang Bireuen menjadi buah tangan dengan harga Rp 5.000
hingga Rp 12.000 per kilogram.
Komoditas
khas lainnya adalah giri matang, sejenis jeruk bali. Buah ini hanya
terdapat di Matang, ibu kota Kecamatan Peusangan yang berjarak 10
kilometer dari Bireuen arah ke Medan. Dari luas lahan tanam 675 hektar,
masyarakat di kecamatan ini memperoleh 3.584 ton giri matang. Di pasar
kecamatan, dijual satuan dengan harga Rp 5.000. Pemerintah kabupaten
menyediakan lahan 1.500 hektar untuk pengembangan buah khas Bireun ini.
Berbatasan
dengan Selat Malaka di bagian utara memungkinkan Bireuen memiliki
potensi perikanan dan kelautan yang siap dimanfaatkan dengan andalan
ikan cakalang dan tuna. Setiap tahun hasil tangkapan ikan cakalang
rata-rata 1.410 ton. Sedangkan ikan tuna 665 ton. Dari hasil budidaya,
Bireuen mengunggulkan udang windu dan bandeng. Dengan budidaya intensif
diperoleh lima ton udang windu per bulan. Harga udang windu berkualitas
ekspor berkisar Rp 60.000–Rp 90.000 per kilogram. Sedangkan harga
bandeng sekitar Rp 12.000 per kilogram.
Menggeliat Memajukan Daerah
KONFERENSI
Meja Bundar (KMB) di Den Haag, berjalan alot. Belanda mengklaim seluruh
wilayah RI telah tunduk setelah mereka melancarkan Agresi Militer II.
Namun, saat yang bersamaan siaran radio yang mengatakan bahwa negara
Republik Indonesia masih tegak berdiri, tertangkap oleh perwakilan
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di India. "Pancaran siaran radio Rimba
Raya yang berkedudukan di Bireuen itu menjadi bukti yang menguatkan
delegasi Indonesia yang sedang berunding," tutur Bupati Bireuen, Mustafa
Geulanggang.
Kisah
tersebut dituturkan dalam wawancara dengan Kompas beberapa waktu lalu.
Siapa menyangka kota kabupaten di Aceh Utara ini ikut berperan penting
dalam sejarah kemerdekaan. Bireuen, berdiri sebagai kabupaten otonom
lepas dari kabupaten induk Aceh Utara pada 1999. Ibu kotanya yang juga
bernama Bireuen dikenal dengan berbagai sebutan, mulai dari Kota Juang,
sampai kota Singgah.
"Bung
Karno pernah singgah ke mari. Sampai sekarang fotonya yang sedang
bersalaman dengan Daud Beureh masih dipajang di pendopo bupati," tutur
Mustafa.
Dari
geografis, letak kota ini sangat strategis. Ia berada di titik
persimpangan arus pergerakan manusia dan barang dari arah Timur (Medan,
Langsa, Lhok Seumawe), maupun arah barat (Gayo dan Takengon), menuju
Banda Aceh.
Posisi
Bireuen yang berpenduduk lebih dari 350.000 jiwa sangat menguntungkan.
Ini dibuktikan ketika Belanda menjadikan kota ini sebagai basis
pertahanan mereka.Tidak tanggung-tanggung Belanda membangun tiga
lapangan terbang di Cot Gapu, Juli, dan Peusangan. Saat ini ketiga
lapangan terbang itu beralih fungsi, lahannya menjadi tempat permukiman
maupun fasilitas umum.
Langkah
Bireuen untuk mandiri sebagai kabupaten yang berdiri sendiri memang
tidak mudah. Ketika ditetapkan sebagai kabupaten otonom tahun 1999,
kondisi perekonomian secara keseluruhan pada saat itu, belum pulih dari
krisis moneter. Harapan untuk segera maju dan berkembang, terempas oleh
kondisi keamanan yang kembali mencapai titik nadir.
Pengaruh
kedua faktor kunci tersebut sangat berimbas kepada kehidupan
masyarakat. Pada tahun 2001 tercatat 70 persen penduduk Bireuen termasuk
kategori miskin, dan 30 persen berstatus penganggur. Ketika darurat
militer diberlakukan, masyarakat Bireuen harus menghadapi kenyataan
pahit, menanggung dampak negatif konflik. Di kota ini lah, pembakaran
gedung-gedung sekolah paling banyak terjadi. Bahkan, di pusat kota
sekalipun, aksi pembumihangusan tak mampu dicegah.
"Terus
terang, itu sangat memukul kami. Ibarat bayi baru lahir langsung
dihadang kesulitan besar yang membuatnya tak mampu bergerak," ujar
Mustafa.
Untunglah
jajaran pemkab maupun warga Bireuen termasuk tahan banting. Seiring
keadaan yang berangsur membaik, masyarakat dan Pemkab Bireuen kembali
menata hidup. Untuk menghapus kenangan buruk aksi pembakaran, pemkab
mengecat bangunan-bangunan di sepanjang jalan utama dengan cat
warna-warni. "Supaya keceriaan yang sama juga muncul di hati
masyarakat," harap Mustafa.
Masyarakat
Bireuen memiliki kreativitas yang cukup tinggi. Kota ini terkenal
dengan jiwa dan semangat wirausaha. Tak heran jika kota ini mempunyai
banyak produk industri rumah tangga. Mulai dari usaha karoseri angkutan
umum, alat-alat pertanian, sampai usaha keripik pisang. "Dari sumber
daya manusia, Bireuen memang membanggakan," ujar Ris Jayadi, pemilik
usaha alat-alat pertanian Nakri.
Bengkel
milik Ris di Jalan Medan-Banda Aceh itu menghasilkan berbagai macam
alat pertanian, seperti mesin perontok padi dan alat penanam benih. Ia
mengaku selalu kewalahan memenuhi pesanan saat musim panen tiba. "Dulu
saat saya merintis usaha ini, hanya ada dua bengkel penghasil alat-alat
pertanian, tapi sekarang jumlahnya belasan," tutur Ris.
Contoh
lain kreativitas masyarakat Bireuen adalah kejelian melihat potensi dan
memanfaatkan kesempatan. Di kota ini terdapat lebih dari 20 gudang
penyimpanan kopi. Kopi yang dihasilkan daerah Gayo dan Takengon,
dikeringkan di Bireuen kemudian dipasarkan ke daerah lain. Grosir
sayur-mayur kebanyakan berasal dari Bireuen.
Alam
Kabupaten Bireuen menyimpan potensi luar biasa. Pertanian menjadi yang
utama. Selain penghasil beras, Bireuen juga dikenal dengan komoditas
kacang kedelai. Kedelai Peudada bahkan menjadi produk ekspor. Sedang
daerah pesisir di Kecamatan Jeumpa, Jangka, dan Samalanga, berpotensi
dikembangkan sebagai pertambakan intensif. "Kalau sedang bagus, harga
udang tambak bisa mencapai Rp 75.000 per kilogram," tutur seorang warga.
Pemkab
Bireuen memiliki segudang rencana untuk memberdayakan potensi
daerahnya. Meskipun sebagian besar kantor dinas masih mengontrak ruko,
semangat jajaran pemkab untuk segera mewujudkan berbagai program sangat
besar. "Kami berencana membangun dengan menerapkan sistem kawasan dengan
mempertimbangkan potensi sektor pertanian, perikanan, dan industri,"
papar Mustafa.
Menurut
Mustafa, kawasan Bireuen Selatan seperti Juli, Peusangan, dan Makmur
akan dikembangkan sebagai kawasan pertanian dan perkebunan, dengan
mencoba menerapkan pertanian perkotaan (agropolitan) yang produknya
berorientasi ekspor. Sedang daerah pesisir seperti Kecamatan Jangka,
Jeumpa, dan Samalanga, akan dijadikan areal pertambakan intensif.
Industri
pun ikut dilirik. Sebuah kawasan industri terpadu dengan sistem berikat
sedang disiapkan di Cot Bale Glumpang, Kecamatan Pandrah dan Samalanga.
"Daerah itu akan dijadikan kawasan terpadu dengan sasaran industri
skala besar seperti CPO (crude palm oil)," tutur Mustafa.
Selain
itu, Pemkab Biereun juga berambisi menjadikan Kota Bireuen sebagai kota
persinggahan dan kota wisata. Waduk paya Kareng di Cot Gapu, akan
dijadikan obyek wisata kota lengkap dengan fasilitas resor.