Selasa, 15 Mei 2012

Bireun

Nama Resmi : Kabupaten Bireuen
Ibukota : Singkil
Luas Wilayah : 1.902,21 Km²
Jumlah Penduduk : 349.085 Jiwa (Sensus Penduduk 2000)
Wilayah Administrasi : Kecamatan : 10
Bupati : Drs. Nurdin Abdul Rahman
Wakil Bupati : Drs. Busmadar Ismail
Alamat Kantor : Jl. Laksamana Malahayati. No. 1
Telp. (0644) 324312. Fax (0644) 324313
Website : www.bireuenkab.go.id

 SEJARAH

AWAL Maret 2003. Komite Keamanan Bersama atau Joint Security Committee (JSC) Aceh "meresmikan" Kecamatan Peusangan di Kabupaten Bireuen sebagai zona damai di Aceh. Daerah ini bersama Kecamatan Tiro di Kabupaten Pidie dan Kecamatan Indrapuri, di Kabupaten Aceh Besar menjadi zona damai menyusul pemberlakuan demiliterisasi Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan relokasi prajurit Tentara Nasional Indonesia (TNI). Tujuannya jelas: mewujudkan damai di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD).

NAMUN, kenyataan berbicara lain. Tiga bulan setelah kesepakatan damai diteken, pemerintah negeri ini memberlakukan darurat militer di NAD. Tak lama kemudian, kendaraan umum di Bireuen perlahan tersisih oleh kemunculan kendaraan tentara yang berpatroli rutin. Suara deru mesin panser dan letusan bedil yang mewarnai kontak senjata antara pasukan TNI dengan GAM mulai merasuki gendang telinga warga Bireuen.

Dalam peta GAM, Bireuen termasuk wilayah Batee Iliek dalam kekuasaan Panglima Perang Dawis Djeunieb. Tidak heran bila aparat keamanan pemerintah pusat kerap menyambangi daerah ini. Empat dari 10 kecamatan yang ada, yakni kecamatan Juli, Jangka, Peudada, dan Makmur malah mendapat predikat "daerah hitam". Dibanding kecamatan lain, berbagai tindak kekerasaan-pengrusakan dan pembakaran bangunan permanen, penculikan hingga pembunuhan- kerap terjadi di keempat kecamatan itu.

Salah satu bangunan permanen yang menjadi sasaran pembakaran adalah bangunan sekolah. Selama darurat militer diberlakukan, 139 gedung sekolah di Bireuen terbakar. Dari catatan yang ada, Bireuen memiliki 280 gedung sekolah dasar sampai sekolah lanjutan tingkat atas. Dalam APBD 2002 pemerintah kabupaten menganggarkan Rp 27,17 miliar guna menunjang kegiatan pendidikan. Alokasi itu sekitar 40 persen dari seluruh belanja pembangunan Rp 68,77 miliar.

Kabupaten Bireuen yang lahir pada 12 Oktober tahun 1999 merupakan pemekaran Kabupaten Aceh Utara. Bireuen terletak pada 40.54’ – 50.18’ Lintang Utara dan 960.20’-970.21’ Bujur Timur. Kabupaten ini berada pada jalur Banda Aceh dan Medan serta berbatasan dengan Takengon, Aceh Tengah. Sebagian besar permukaan jalan yang menghubungkan Bireuen dengan daerah-daerah tetangganya beraspal hotmix. Waktu tempuh dari Banda Aceh ke Bireuen lima jam perjalanan darat. Sedangkan dari Medan sekitar 10-11 jam. Dari seluruh luas lahan di kabupaten ini, 54,2 persen untuk usaha pertanian.

Lapangan usaha pertanian menjadi mata pencaharian utama penduduk Bireuen. Dari seluruh penduduk, 33,05 persen bekerja di sektor agraris. Sisanya tersebar di berbagai lapangan usaha seperti jasa (21,62 persen), perdagangan (10,20 persen), industri (5,50 persen). Nilai kegiatan ekonomi masyarakat di lapangan usaha pertanian Rp 1,07 triliun. Dalam Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) tahun 2001, nilai yang dihasilkan sekitar 65 persen dari seluruh PDRB yang berjumlah Rp 1,65 triliun.

Dari lima kegiatan pada lapangan usaha pertanian, tanaman pangan memberi kontribusi terbesar dengan nilai Rp 445 miliar. Produk andalan bidang ini adalah padi dan kedelai. Padi di tanam di seluruh kecamatan dengan luas tanaman 26.047 hektar. Bireuen menghasilkan 136.578 ton padi dari areal panen 29.814 hektar. Sentra produksi padi terdapat di Kecamatan Samalangan, Peusangan, dan Gandapura. Untuk pengairan sawah, kabupaten ini memanfaatkan tujuh sungai yang semua bermuara ke Selat Malaka. Salah satunya, irigasi Pandelhong yang memanfaatkan air Krueng–sebutan untuk sungai–Peusangan.

Seperti padi, tanaman kedelai dijumpai di seluruh kecamatan. Dari areal panen 27.033 hektar, diperoleh 41.793 ton kacang kedelai. Angka ini merupakan produksi terbesar di seluruh Provinsi NAD. Kecamatan Juli menjadi sentra kedelai dengan produksi 17.202 ton. Sedangkan sembilan kecamatan lain menghasilkan 300 ton hingga 7.000 ton. Selain untuk konsumsi lokal, kacang kedelai (Glycine max) dipasarkan dalam bentuk butiran hingga ke Medan, Sumatera Utara. Di kota ini, biji kedelai yang mengandung 48 persen protein, 24 persen karbohidrat, dan 19 persen lemak digunakan untuk bahan baku tempe, tahu, dan susu. Ampasnya untuk pakan ternak. Di Bireuen, kedelai menjadi bahan baku kecap, tahu, dan tempe.

Kabupaten ini juga menjadi daerah penghasil pisang. Dari 151.933 batang pisang, dihasilkan 3.792 ton buah pisang. Pisang ini diolah menjadi keripik. Industri keripik pisang terbanyak di Kecamatan Jeumpa dengan 80 sentra produksi. Di kecamatan Peusangan dan Juli masing-masing terdapat 40 dan 10 sentra produksi. Masing-masing sentra rata-rata memiliki empat tenaga kerja, sehingga pembuatan keripik pisang setidaknya menyerap 500 tenaga kerja. Keripik pisang Bireuen menjadi buah tangan dengan harga Rp 5.000 hingga Rp 12.000 per kilogram.

Komoditas khas lainnya adalah giri matang, sejenis jeruk bali. Buah ini hanya terdapat di Matang, ibu kota Kecamatan Peusangan yang berjarak 10 kilometer dari Bireuen arah ke Medan. Dari luas lahan tanam 675 hektar, masyarakat di kecamatan ini memperoleh 3.584 ton giri matang. Di pasar kecamatan, dijual satuan dengan harga Rp 5.000. Pemerintah kabupaten menyediakan lahan 1.500 hektar untuk pengembangan buah khas Bireun ini.

Berbatasan dengan Selat Malaka di bagian utara memungkinkan Bireuen memiliki potensi perikanan dan kelautan yang siap dimanfaatkan dengan andalan ikan cakalang dan tuna. Setiap tahun hasil tangkapan ikan cakalang rata-rata 1.410 ton. Sedangkan ikan tuna 665 ton. Dari hasil budidaya, Bireuen mengunggulkan udang windu dan bandeng. Dengan budidaya intensif diperoleh lima ton udang windu per bulan. Harga udang windu berkualitas ekspor berkisar Rp 60.000–Rp 90.000 per kilogram. Sedangkan harga bandeng sekitar Rp 12.000 per kilogram.

Menggeliat Memajukan Daerah

KONFERENSI Meja Bundar (KMB) di Den Haag, berjalan alot. Belanda mengklaim seluruh wilayah RI telah tunduk setelah mereka melancarkan Agresi Militer II. Namun, saat yang bersamaan siaran radio yang mengatakan bahwa negara Republik Indonesia masih tegak berdiri, tertangkap oleh perwakilan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di India. "Pancaran siaran radio Rimba Raya yang berkedudukan di Bireuen itu menjadi bukti yang menguatkan delegasi Indonesia yang sedang berunding," tutur Bupati Bireuen, Mustafa Geulanggang.

Kisah tersebut dituturkan dalam wawancara dengan Kompas beberapa waktu lalu. Siapa menyangka kota kabupaten di Aceh Utara ini ikut berperan penting dalam sejarah kemerdekaan. Bireuen, berdiri sebagai kabupaten otonom lepas dari kabupaten induk Aceh Utara pada 1999. Ibu kotanya yang juga bernama Bireuen dikenal dengan berbagai sebutan, mulai dari Kota Juang, sampai kota Singgah.

"Bung Karno pernah singgah ke mari. Sampai sekarang fotonya yang sedang bersalaman dengan Daud Beureh masih dipajang di pendopo bupati," tutur Mustafa.

Dari geografis, letak kota ini sangat strategis. Ia berada di titik persimpangan arus pergerakan manusia dan barang dari arah Timur (Medan, Langsa, Lhok Seumawe), maupun arah barat (Gayo dan Takengon), menuju Banda Aceh.

Posisi Bireuen yang berpenduduk lebih dari 350.000 jiwa sangat menguntungkan. Ini dibuktikan ketika Belanda menjadikan kota ini sebagai basis pertahanan mereka.Tidak tanggung-tanggung Belanda membangun tiga lapangan terbang di Cot Gapu, Juli, dan Peusangan. Saat ini ketiga lapangan terbang itu beralih fungsi, lahannya menjadi tempat permukiman maupun fasilitas umum.

Langkah Bireuen untuk mandiri sebagai kabupaten yang berdiri sendiri memang tidak mudah. Ketika ditetapkan sebagai kabupaten otonom tahun 1999, kondisi perekonomian secara keseluruhan pada saat itu, belum pulih dari krisis moneter. Harapan untuk segera maju dan berkembang, terempas oleh kondisi keamanan yang kembali mencapai titik nadir.

Pengaruh kedua faktor kunci tersebut sangat berimbas kepada kehidupan masyarakat. Pada tahun 2001 tercatat 70 persen penduduk Bireuen termasuk kategori miskin, dan 30 persen berstatus penganggur. Ketika darurat militer diberlakukan, masyarakat Bireuen harus menghadapi kenyataan pahit, menanggung dampak negatif konflik. Di kota ini lah, pembakaran gedung-gedung sekolah paling banyak terjadi. Bahkan, di pusat kota sekalipun, aksi pembumihangusan tak mampu dicegah.

"Terus terang, itu sangat memukul kami. Ibarat bayi baru lahir langsung dihadang kesulitan besar yang membuatnya tak mampu bergerak," ujar Mustafa.

Untunglah jajaran pemkab maupun warga Bireuen termasuk tahan banting. Seiring keadaan yang berangsur membaik, masyarakat dan Pemkab Bireuen kembali menata hidup. Untuk menghapus kenangan buruk aksi pembakaran, pemkab mengecat bangunan-bangunan di sepanjang jalan utama dengan cat warna-warni. "Supaya keceriaan yang sama juga muncul di hati masyarakat," harap Mustafa.

Masyarakat Bireuen memiliki kreativitas yang cukup tinggi. Kota ini terkenal dengan jiwa dan semangat wirausaha. Tak heran jika kota ini mempunyai banyak produk industri rumah tangga. Mulai dari usaha karoseri angkutan umum, alat-alat pertanian, sampai usaha keripik pisang. "Dari sumber daya manusia, Bireuen memang membanggakan," ujar Ris Jayadi, pemilik usaha alat-alat pertanian Nakri.

Bengkel milik Ris di Jalan Medan-Banda Aceh itu menghasilkan berbagai macam alat pertanian, seperti mesin perontok padi dan alat penanam benih. Ia mengaku selalu kewalahan memenuhi pesanan saat musim panen tiba. "Dulu saat saya merintis usaha ini, hanya ada dua bengkel penghasil alat-alat pertanian, tapi sekarang jumlahnya belasan," tutur Ris.

Contoh lain kreativitas masyarakat Bireuen adalah kejelian melihat potensi dan memanfaatkan kesempatan. Di kota ini terdapat lebih dari 20 gudang penyimpanan kopi. Kopi yang dihasilkan daerah Gayo dan Takengon, dikeringkan di Bireuen kemudian dipasarkan ke daerah lain. Grosir sayur-mayur kebanyakan berasal dari Bireuen.

Alam Kabupaten Bireuen menyimpan potensi luar biasa. Pertanian menjadi yang utama. Selain penghasil beras, Bireuen juga dikenal dengan komoditas kacang kedelai. Kedelai Peudada bahkan menjadi produk ekspor. Sedang daerah pesisir di Kecamatan Jeumpa, Jangka, dan Samalanga, berpotensi dikembangkan sebagai pertambakan intensif. "Kalau sedang bagus, harga udang tambak bisa mencapai Rp 75.000 per kilogram," tutur seorang warga.

Pemkab Bireuen memiliki segudang rencana untuk memberdayakan potensi daerahnya. Meskipun sebagian besar kantor dinas masih mengontrak ruko, semangat jajaran pemkab untuk segera mewujudkan berbagai program sangat besar. "Kami berencana membangun dengan menerapkan sistem kawasan dengan mempertimbangkan potensi sektor pertanian, perikanan, dan industri," papar Mustafa.

Menurut Mustafa, kawasan Bireuen Selatan seperti Juli, Peusangan, dan Makmur akan dikembangkan sebagai kawasan pertanian dan perkebunan, dengan mencoba menerapkan pertanian perkotaan (agropolitan) yang produknya berorientasi ekspor. Sedang daerah pesisir seperti Kecamatan Jangka, Jeumpa, dan Samalanga, akan dijadikan areal pertambakan intensif.

Industri pun ikut dilirik. Sebuah kawasan industri terpadu dengan sistem berikat sedang disiapkan di Cot Bale Glumpang, Kecamatan Pandrah dan Samalanga. "Daerah itu akan dijadikan kawasan terpadu dengan sasaran industri skala besar seperti CPO (crude palm oil)," tutur Mustafa.

Selain itu, Pemkab Biereun juga berambisi menjadikan Kota Bireuen sebagai kota persinggahan dan kota wisata. Waduk paya Kareng di Cot Gapu, akan dijadikan obyek wisata kota lengkap dengan fasilitas resor.

Pages - Menu